Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan
tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa
adanya unsur subhat.[1]Delik
perzinaan ditegaskan dalam al-Qur’an dan sunnah. Hukuman bagi pelaku zina
yang belum menikah (ghairu
muhsan) didasarkan pada ayat al-Qur’an, yakni didera seratus kali.
Sementara bagi pezinamuhsandikenakan sanksirajam.Rajamdari segi bahasa berarti melempari
batu.[2]rajamadalah melempari pezinamuhsansampai menemui ajalnya.[3]Adapun dasar hukum dera atau cambuk seratus
kali adalah firman Allah dalam surat an-Nur ayat 2:Sedangkan menurut istilah, اَلزَّانِيَةُ وَالزَّانِى فَاجْلِدُوْا كُلَّ
وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي
دِيْنِ اللهِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ وَلْيَشْــهَدْ
عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَPezina perempuan dan laki-laki hendaklah dicambuk seratus kali dan
janganlah merasa belas kasihan kepada keduanya sehingga mencegah kamu
dalam menjalankan hukum Allah, hal ini jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhir. Dan hendaklah dalam menjatuhkan sanksi (mencambuk) mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.Sedangkan dasar penetapan hukum rajam adalah hadis Nabi:خُذُوا عَنِّي خُذُوا عَنِّي قَدْ جَعَلَ اللهُ
لَهُنَّ سَبِيلاً الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ
وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ وَالرَّجْمُ[4]Terimalah dariku! Terimalah dariku! Sungguh Allah telah memberi
jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan gadis dijilid seratus kali
dan diasingkan selama satu tahun. Dan orang yang telah kawin yang berzina
didera seratus kali dan dirajam.Zina adalah perbuatan yang sangat tercela dan pelakunya dikenakan
sanksi yang amat berat, baik itu hukum dera maupun rajam, karena alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akal. Kenapa zina diancam dengan
hukuman berat. Hal ini disebabkan karena perbuatan zina sangat dicela oleh
Islam dan pelakunya dihukum dengan hukumanrajam(dilempari batu sampai meninggal
dengan disaksikan orang banyak), jika ia muhsan. Jika iaghairu
muhsan, maka dihukum cambuk 100 kali. Adanya perbedaan
hukuman tersebut karenamuhsanseharusnya bisa
lebih menjaga diri untuk melakukan perbuatan tercela itu, apalagi kalau masih
dalam ikatan perkawinan yang berarti menyakiti dan mencemarkan nama baik
keluarganya, sementaraghairu muhsanbelum pernah menikah sehingga nafsu
syahwatnya lebih besar karena didorong rasa keingintahuannya. Namun keduanya
tetap sangat dicela oleh Islam dan tidak boleh diberi belas kasihan,
sebagaimana firman Allah:وَلاَ تَأْخُذْ كُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى
دِيْنِ اللهِAncaman keras bagi pelaku zina tersebut karena dalam pandangan
Islam zina, merupakan perbuatan tercela yang menurunkan derajat dan harkat
kemanusiaan secara umum. Apabila zina tidak diharamkan niscaya martabat manusia
akan hilang karena tata aturan perkawinan dalam masyarakat akan rusak. Di samping
itu pelaku zina berarti mengingkari nikmat Allah tentang kebolehan dan anjuran
Allah untuk menikah.[5]Hukuman delik perzinaan yang menjadi perdebatan di kalangan umat
Islam adalah hukum rajam. Jumhur ulama menganggap tetap eksisnya hukumrajam,
sekalipun bersumber padakhabar ahad. Sementara
golongan Khawarij, Mu’tazilah dan sebagian fuqaha Syiah menyatakan,
sanksi bagi pezina adalah hukum dera (cambuk).[6]Adapun alasan mereka yang menolak hukum rajam
adalah:1. Hukum rajam dianggap paling berat di antara hukum yang
ada dalam Islam namun tidak ditetapkan dalam al-Qur`an. Seandainya Allah
melegalkan hukum rajam mestinya ditetapkan secara definitif dalam nas.2. Hukuman bagi hamba sahaya separoh dari orang merdeka,
kalau hukum rajam dianggap sebagai
hukuman mati, apa ada hukuman separuh mati. Demikian juga
ketentuan hukuman bagi keluarga Nabi dengan sanksi dua kali lipat
Apakah ada dua kali hukuman
mati. Secara jelas
ayat yang menolak adalah surat an-Nisa ayat 25:…فَإِذَا اُحْـصِنَّ فَإِنْ أَتَــيْنَا
بِــفَاحِـشَةٍ فَـعَلَيْـهِنَّ نِـصْفُ مَــا عَلَى الْمُحْصَـنَـاتِ مِنَ
الْعَــذَابِ…… jika para budak yang telah terpelihara melakukan perbuatan keji
(zina), maka hukumannya adalah separuh dari wanita merdeka …Ayat di atas menunjukan bahwa hukum rajam tidak dapat dibagi dua,
maka hukum yang logis diterapkan adalah hukum dera 100 kali. Jika pelakunya
budak, maka berdasarkan ketentuan surat an-Nisa ayat 25 adalah separuh, yakni
lima puluh kali. Demikian halnya dengan ketentuan surat al-Ahzab ayat 30.يَانِسَاءَ النَّبِيِّ مَنْ يَأْتِ مِنْكُنَّ
بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ يُضَاعَفْ لَهَاالْعَذَابُ ضِعْفَيْنِ…Hai istri-istri Nabi jika di antara kalian terbukti melakukan
perbuatan keji (zina), maka dilipatgandakan sanksinya yaitu dua kali lipat…Ayat di atas menggambarkan bahwa hukum rajam tidak dapat
dilipatgandakan, yakni dua kali lipat. Jika diberlakukan hukum dera 100 kali
maka dua kali lipatnya adalah 200 kali.3. Hukum dera yang tertera dalam surat an-Nur ayat 2 berlaku
umum, yakni pezinamuhsandanghairu muhsan. Sementara
hadis Nabi yang menyatakan berlakunya hukum rajam adalah lemah.[7]Masih dalam aliran ini, Izzudin bin Abd as-Salam sebagaimana
dikutip oleh Fazlur Rahman, menyatakan bahwa hukum rajam dengan argumnetasi
seluruh materi yang bersifat tradisional bersifatnon
reiable,di
samping tidak ditegaskan dalam al-Qur`an juga warisan sejarah orang-orang
Yahudi.[8]Sementara Anwar Haryono menyatakan, bahwa hukumrajampertama kali diterapkan dalam sejarah
Islam terhadap orang Yahudi dengan mendasarkan kitab mereka, yakni Taurat.
Kejadian itu kemudian menjadi rujukan hukum, artinya siapa saja yang berzina
dirajam.[9]Demikian
halnya dengan pendapat Hasbi ash-Shiddieqy, hukum rajam ada dan dipraktekan
dalam Islam, akan tetapi terjadi sebelum diturunkannya surat an-Nur ayat (2).
Maka hukum yangmuhkam[10]Alangkah
bijaksananya kalau kita mengatakan hukumhaditu tidak boleh dilaksanakan, kecuali
telah sempurna perbuatan dosa seseorang, yakni terpenuhinya syarat, rukun dan
tanpa adanya unsursubhat.sampai sekarang adalah hukum dera bagi
pezina. Tidak ada maksud mengklaim kebenaran pada salah satu pihak yang
pro dan kontra tentang sanksi bagi pezina (dera atau rajam). Ada baiknya merujuk
pada teks dengan mempertimbangkan realitas masyarakat kontemporer, seperti
Indonesia yang plural. Artinya harus bertolak dari kenyataan bahwa hukumrajambukan hukum yang hidup dalam sistem
negara Islam manapun, kecuali Saudi Arabia. Realitas ini tentunya tidak lepas
dari adanya perubahan konstruksi masyarakat sekarang, dengan konstruksi
masyarakat muslim pada saat hukumrajamditerapkan. Perubahan masyarakat pada
gilirannya merubahrasa hukummasyarakat, sehingga masyarakat
enggan melaksanakan hukum rajam, di sisi lain pezina harus dihukum berdasarkan
ketentuan al-Qur`an.Di sini perlu dipahami, bahwa perintah Rasul untuk menghukum rajam
bagi pezina harus diperhitungkan latar belakang historisnya:1. Hukumrajampertama kali diterapkan kepada orang Yahudi,
dasar hukumnya adalah kitab mereka yakni Taurat.2. Diterapkannya hukumrajampada masa Nabi adalah ketika surat
an-Nur ayat (2) belum diturunkan. Sedang hukum yang berlaku setelah
diturunkannya surat an-Nur ayat (2) adalah hukum cambuk (dera) 100 kali.3. Rasululah menghukumrajamdi kala itu bukan sebagai hukumanhad,melainkan hukumanta’zir.[11]Dari berbagai bentuk sanksi delik perzinaan dapat ditarik benang
merah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jalaludin Rahmat, hukumrajammempunyai fungsi sebagai penjera yang
dalam konteks masyarakat modern dapat diganti dengan hukuman lain.[12]Di sisi lain hukum Islam harus diberlakukan
secara substansial dengan tidak meninggalkan ruh syari’ah. Senada dengan
pernyataan di atas, menurutnya, ketika memahami hukum Islam, teori gradasi
layak dipertimbangkan, demikian halnya dengan prinsipnasikh
wa mansukh,serta
kondisi masyarakat sebagai syarat mutlak dalam pemberlakuan sistem hukum. Yusuf
al-Qaradawi berkomentar, sanksi perzinaan akan efektif diberlakukan sebagaimana
yang diinginkan oleh nas jika masyarakat sempurna memahami agamanya.
Sebaliknya, jika masayarakat lemah imannya, lingkungan tidak mendukung, seperti
wanita banyak mempertontonkan kecantikannya, beredarnya film-film porno, adegan
perzinaan terbuka lebar di mana-mana, kondisi seperti ini tidak efektif untuk
memberlakukan hukum secara definitif.[13]Hukumrajamatau dera seratus kali bagi pezina
bukanlah suatu kemutlakan. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Syahrur dengan
teorinyahalah al-had al-a’la,
(batas maksimal ketentuan hukum Allah), bahwa hukum rajam (dera) bisa dipahami
sebagai hukum tertinggi dan adanya upaya untuk berijtihad dalam kasus tersebut
dapat dibenarkan.[14]Demikian halnya pelaku yang tidak diketahui
oleh orang lain, Islam memberikan peluang terhadapnya untuk bertobat.[15]Sebagaimana
Nabi menjadikan sarana dialog dalam kasus Ma’iz bin Malik, yang mengaku berzina
dan minta disucikan kepada Nabi. Nabi berpaling dan bertanya berulang-ulang
agar pengakuan dicabut dan segera bertaubat.Dari berbagai pendapat tentang eksistensi hukumrajam,
dapat disimpulkan bahwa hukumrajamadalah alternatif hukuman yang
terberat dalam Islam dan bersifat insidentil. Artinya penerapannya lebih
bersifat kasuistik. Karena hukuman mati dalam Islam harus melalui pertimbangan
matang kemaslahatan individu maupun masyarakat.Adapun tindak pidana yang terkait dengan tindakan asusila,
seperti pelaku lesbian dan homoseks, kebanyakan ahli hukum menyatakan
bahwa si pelaku tidak dihukumhaddmelainkan denganta’zir.[16]Dalam hal kejahatan perkosaan, hanya orang
yang melakukan pemaksaan saja (si pemerkosa) yang dijatuhi hukumanhadd.
Namun ada sebagian pendapat yang menyatakan, bahwa hukuman si pemaksa
dikategorikan sebagai tindakan yang sadis dan masuk dalam delikhirabah.
Hal ini didasarkan pada lafadzwayas `auna fi al-ard fasadan(orang yang membuat kerusakan
di muka bumi). Kejahatan pemerkosaan, sabotase, bahkan teroriseme termasuk
dalam kategorijarimahperampokan (perampasan) yang pelakunya
harus dikenakan hukuman berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar